Review ini mengandung spoiler Season 7. Bagi yang belum nonton, you have been warned.
Season 7 berakhir di Agustus lalu. Mengawali penantian panjang kita untuk Season 8 yang mungkin baru tayang ratusan Senin kemudian. Untungnya, beberapa pertanyaan kita tentang misteri di Game of Thrones, termasuk bagaimana kisah ini akan berakhir sudah sedikit terjawab.
Review ini akan fokus pada Episode 7 “The Dragon and The Wolf.” Review Season 7 akan dibuat di tulisan khusus yang membahas kekurangan dan kelebihan, sekaligus membahas prediksi Season 8.
Oke, mari kita review Episode 7.
Musyawarah Akbar
Tiga kekuatan besar di Westeros berkumpul di King’s Landing. Daenerys Targaryen, mengumpulkan pasukannya untuk unjuk kekuatan di hadapan Cersei: 8.000 Unsullied, 100.000 pasukan berkuda dothraki, dan 2 dragons. Jon Snow yang mempunyai hajat di sini – sebagai orang yang sejak lama berhadapan langsung dengan White Walker datang ke King’s Landing.
Cersei juga telah bersiap-siap menghadapi serangan dari luar. Pasukan Lannisters sudah bersiap seperti layaknya ketika Perang Blackwater, King’s Landing menghadapi kepungan pasukan Stannis dari luar. Iron Fleet Euron Greyjoy juga semuanya hadir di King’s Landing.
Episode 7 ini juga pertama kali mempertemukan banyak karakter utama dalam satu scene: Cersei, Daenerys, Jon, Tyrion, Jorah, Missandei, Podrick, Bronn, Euron, Jaime, Davos, Brienne, Theon, Qhonos, The Hound, The Mountain, Varys dalam satu scene. Mereka musuh yang selama ini berseteru, di antara mereka pernah satu barisan kemudian kini berlawanan.
Varys belasan tahun menjadi Master of Whispers sejak masa King Robert, yang seringkali melayani Cersei, kini mereka berhadap-hadapan. Jaime dan Brienne bersimpati satu sama lain ketika mengantarkan Jaime ke King’s Landing, kini berhadapan sesuai dengan loyalitasnya masing-masing. The Hound pernah dihajar sampai hampir mati oleh Brienne, kini mereka satu tujuan untuk meyakinkan Cersei. Tyrion dan Cersei sudah saling membenci sejak mereka masih sama-sama di satu kubu. Euron membantai pasukan Greyjoy, kemudian menangkap Yara sebagai tawanan.
Mereka semua bertemu di Dragonpit, sebuah reruntuhan gedung berkubah besar yang dulu digunakan sebagai kandang naga dinasti Targaryen. Setelah menguasai Westeros, para raja-raja Targaryen mengurung naga mereka, karena berbahaya apabila dilepas bebas tanpa pengendaranya. Namun, ketika para naga dikurung, ternyata ukuran mereka semakin menyusut sehingga semakin tidak berguna. (Di episode 7 Daenerys menggenggam tengkorak kepala naga yang hanya sebesar kepala anjing. “A dragon is not a slave,” kata Daenerys)
Mereka berdiskusi kemungkinan gencatan senjata. Tentu, gencatan senjata pada masa kedua pihak masih sama-sama memiliki kekuatan penuh untuk berperang terasa aneh. Oleh karenanya, baik Daenerys dan Cersei tidak akan mungkin bisa duduk bersama apabila tidak ada keadaan lain yang memaksa: ancaman White Walkers dan Pasukan kematian di Utara.
Cersei tidak percaya. Tapi ketika ditunjukan satu tangkapan zombie, terlihat Cersei benar-benar ketakutan selayaknya mimpi buruk menjadi nyata. Cersei akhirnya mau membantu, asalkan nanti North tidak memihak perang antara Daenerys dan Cersei. Jon yang di episode sebelumnya sudah berlutut kepada Daenerys (“My Queen”), tidak bisa memenuhi hal tersebut. Cersei marah, dan meninggalkan pertemuan.
Tapi pada akhirnya, setelah dibujuk oleh Tyrion (ya, betul Tyrion – manusia paling dibenci Cersei) Cersei akhirnya mau balik lagi ke Dragonpit dan meneguhkan komitmen Lannisters melawan Army of the Dead. Cersei berkata, ketika ancaman di Utara berakhir, dia berharap orang-orang di Westeros tidak melupakan komitmennya membantu melawan ancaman di Utara. Cersei tiba-tiba berubah dari Maleficient menjadi Bunda Theresa yang penuh welas kasih.
Well, that’s too good to be true. Komitmen Cersei hanyalah akal-akalan untuk menipu. Di saat lawannya pergi ke Utara, Cersei akan melakukan konsolidasi kekuatan. Dengan bantuan Iron Bank, Cersei akan mendatangkan Golden Company – pasukan bayaran yang kira-kira berjumlah 20.000 orang untuk menambah pasukan Lannister. Cersei juga kemungkinan akan membentukan aliansi dengan house-house lain yang nampaknya sulit berkoalisi dengan Daenerys, atau menguasai wilayah yang ditinggal oleh penguasanya (Reach, Westerland, Dorne, Stormland).
Kepergian Jaime
Nampaknya semua usaha untuk meyakinkan Cersei – kematian Viserion, beberapa anggota “suicide squad” yang menculik 1 zombie, dan Uncle Benjen yang mati karena menyelamatkan Jon menjadi percuma. Cersei tetaplah Cersei. Betapa pun besarnya ancaman kepada Westeros, Cersei tidak mau mengesampingkan egonya.
Kalaupun ada sesuatu hasil dari upaya meyakinkan Cersei, maka itu adalah Jaime. Setelah Cersei mengungkapkan tipuannya dalam pertemuan dengan Daenerys, Jaime marah besar. Pertama, karena Cersei meremehkan ancaman White Walkers di Utara. Kedua, karena tidak memberitahukan rencana itu kepadanya, justru Cersei lebih mempercayai Euron.
Jaime marah, dan hendak tetap berangkat ke Utara untuk melawan White Walkers, tapi Cersei mengancamnya sebagai pengkhianat. Di sini mungkin hampir semua penonton menahan napas, karena ketika Jaime akan pergi The Mountain berdiri mengahalanginya. Seakan-akan siap membunuh apabila diperintahkan. Jaime kaget tidak percaya. “I don’t believe you” kata Jaime.
Jaime melepaskan semua atribut Lannister, kemudian pergi sendiri ke Utara menunaikan janjinya. A Kingslayer keeps his oath. Jaime bergabung dengan para pahlawan di Utara untuk melawan Army of the Dead.
Jaime kemungkinan besar akan menjadi lubang yang melemahkan Cersei. Secara de facto, Jaime adalah Lord of Casterly Rock. Lalu apakah Jaime akan memanggil semua pasukan Lannister untuk ikut bergabung ke Utara? Sementara ini, Jaime pergi ke Utara sebagai kehendak pribadinya, tapi bukan tidak mungkin Jaime bisa bertindak lebih jauh setelah diyakinkan Tyrion (Atau Brienne).
Jaime juga bisa saja mengungkapkan pengkhianatan Cersei. Lalu Tyrion akan meyakinkan Jaime untuk bergabung dengan Daenerys, serta berjanji Daenerys akan mengampuni Jaime, Cersei, dan anak mereka kelak. In return, Tyrion meminta Jaime memecah pasukan Lannister dengan meminta pasukan Lannister yang loyal kepadanya kembali ke Casterly Rock.
Real MVP: Lena Headey
Ketika diplomasi gagal, karena Jon Snow tidak mau berdiri netral ketika Cersei dan Daenerys nanti kembali bertarung berebut kekuasaan, Tyrion berinisiatif menemui Cersei di Tower of Hand… sendirian. Tentu Tyrion yakin apabila Cersei menyakiti dirinya, maka King’s Landing akan hancur lebur. Tapi pergi sendirian demi meyakinkan Cersei dengan segala risiko, termasuk mempertaruhkan nyawa? Besar sekali rasa sayang Tyrion kepada Cersei.
Di Season ini, Tyrion diperlihatkan sebagai Lannister sejati. Tyrion memilih cara yang paling seminimal mungkin menyakiti house-nya. Tyrion menahan-nahan Daenerys agar tidak membahayakan masyarakat sipil. Ketika Daenerys harus menyerang iring-iringan pasukan Lannister sebagai pembalasan jatuhnya Highgarden, Tyrion adalah orang yang paling tersiksa melihat pasukan Lannister dibantai habis.
Ketika berbicara empat mata dengan Cersei, Tyrion mengaku dirinya lah orang yang sedang mencegah House Lannister dari kehancuran. Daenerys lebih suka memakai “Fire and Blood”, dan Tyrion adalah orang yang mencegah itu tidak terjadi. Tyrion bersimpati atas keluarganya terlepas perlakuan buruk mereka kepada dirinya.
Di sinilah Nampak kecerdasan Tyrion hilang, ketika emosi dan simpati menghalangi akal sehatnya dalam menilai Cersei. Membawa zombie ke King’s Landing, terlepas dari berbagai biaya yang dikorbankan untuk mendapatkannya, adalah bentuk “kasih” kepada Cersei. Apabila Tyrion masih bersimpati kepada Cersei, maka Tyrion akan sulit melihat kemungkinan Cersei akan mengkhianati komitmen melawan White Walkers.
Sejak Season 2, saya selalu menikmati dialog antara karakter Cersei dan Tyrion. Interaksi emosi keduanya begitu kuat, walaupun diceritakan saling membenci tapi tetap menarik ditonton ketika berbincang empat mata (mungkin karena di dunia nyata Lena Headey dan Peter Dinklage adalah sahabat dekat). Di episode ini, acting Lena Headey yang terbaik, di antara aktor-aktor lain yang berperan biasa.
Rest in Peace, Lord Baelish
Littlefinger akhirnya mati. Lehernya digorok oleh Arya Stark menggunakan belati Valyrian yang ironisnya diberikan Littlefinger kepada Bran Stark.
Memang sedari awal, Sansa bukan hanya “kunci menguasai Utara” bagi Littlefinger, tetapi juga kartu matinya. Kapanpun Sansa membuka kartu tersebut, tamatlah nasib Littlefinger. Dan kartu ini dimainkan oleh Sansa di Season 7 dengan munculnya Arya dan Bran.
Sansa mengetahui Littlefinger membunuh Lysa Arryn, meracuni King Joffrey, dan yang paling tidak mungkin dilupakan Sansa: menjual dirinya ke Bolton. (Plot ini yang kemudian membuat banyak fans buku ASOIAF marah besar kepada pembuat Serial TV Game of Thrones, karena menggambarkan Littlefinger yang bodoh. Di bukunya, Sansa masih dilindungi Littlefinger di Vale untuk suatu saat merebut North bersama-sama dari Boltons, bukan malah menjual Sansa ke Bolton sehingga Littlefinger kehilangan kepercayaan Sansa. Sejak itu, pembaca buku ASOIAF fanatik “memboikot” serial TV Game of Thrones.)
Terlepas dari perasaan “berkabung” kita dari akhir hidup salah satu villain terhebat di Game of Thrones, plot konflik Arya-Sansa-Littlefinger di Season 7 ini menimbulkan banyak pertanyaan:
Apa memang sedari awal konflik Arya dan Sansa adalah tipuan belaka untuk menjebak Littlefinger? Kalau sedari awal Arya-Sansa-Bran berkonspirasi, lalu mengapa Littlefinger yang memiliki pembisik di mana-mana tidak bisa membaca rencana mereka? Lalu bagaimana Arya-Sansa-Bran meyakinkan Yohn Royce bahwa “Protector of the Vale” layak dihukum mati? Lalu mengapa bisa Yohn Royce menerima begitu saja penglihatan Bran sebagai dasar bukti untuk menghukum Petyr Baelish?
(Isaac Hempstead Wright – pemeran Bran Stark dalam wawancara dengan Variety.com menceritakan bahwa ada scene yang dipotong di episode 7, yang menceritakan Sansa meminta bantuan Bran menengahi konfliknya dengan Arya, yang kemudian Bran mengungkap pengkhianatan Littlefinger kepada Ned Stark)
Tentu akan selalu ada jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tapi ini membuktikan plot konflik di Winterfell agak bermasalah. Karena keterbatasan waktu untuk memasukkan konflik ini di Season 7, banyak yang tidak diceritakan (off-screen). Saya sendiri berpendapat kematian Littlefinger terlalu mudah, terlalu sederhana untuk seseorang yang selama 6 Season mengadu domba banyak orang.
Misalnya, tidak ada bukti kuat tuduhan-tuduhan Sansa kepada Littlefinger. Dari mana Sansa tahu bahwa Littlefinger adalah otak adu domba antara Stark dan Lannister? Betul, Sansa melihat langsung Lysa didorong dari Moon Door, tapi seharusnya Littlefinger bisa beralasan ini semua untuk melindungi Sansa. Atau Littlefinger bisa bersikeras bahwa semua tuduhan tersebut tidak ada bukti, membunuhnya akan membuat The Vale berperang dengan North (karena Robin Arryn percaya dengan Petyr Baelish, misalnya). Kenapa Littlefinger diam saja?
Okelah, kalaupun semua itu tidak didengarkan, Littlefinger masih punya kartu terakhir: Trial by Combat. Littlefinger bisa membeli waktu selama mungkin untuk mencegah dirinya mati. Agar mengherankan, cara yang dipilih Littlefinger adalah dengan berlutut memohon-mohon seperti layaknya hewan kurban mau disembelih.
(Catatan: setelah diterbitkannya artikel ini, saya diingatkan oleh follower @Thrones_ID bahwa Trial by Combat telah dihapuskan di Seven Kingdom oleh King Tommen. Mungkin pembuat GoT juga tidak mau menambah kebingungan apabila tiba-tiba ada Trial by Combat).
I just don’t get it. Tentu Littlefinger harus mati, tapi cara matinya harus sesuai dengan bangunan karakternya selama 7 Season terakhir dong.
Anyway, selamat jalan untuk Littlefinger. Game of Thrones tidak akan sama lagi, tanpamu.
Jon Daenerys, Kapal Bergoyang
Tidak ada hal lain yang lebih membelah fans Game of Thrones, dibandingkan percintaan Jon Snow dan Daenerys Stormborn.
Di satu pihak, banyak fans setuju karena persatuan Jon dan Daenerys adalah perwujudan dari Ice and Fire. Game of Thrones sejak lama membawa kisah mereka, yang sama-sama pernah ada di posisi paling sulit kemudian kini sama-sama berada di puncak. Jon Snow pernah menjadi tahanan Wildling, harus berpura-pura membantu mereka melawan Night’s Watch. Daenerys pernah dijual sebagai istri war lord Dothraki, dan setelah Khal Drogo meninggal harus bersusah payah mengarungi gurun di Essos untuk mencari tempat tinggal (Dan yang dari awal menemani Daenerys di masa-masa susah adalah Ser Jorah, jangan lupa!). Keduanya sama-sama mendaki puncak kekuasaan dengan cara yang berat. Kini keduanya bertemu, lalu dipersatukan.
Bagi fans yang menolak percintaan Jon dan Daenerys, mereka beralasan secara karakter mereka nggak cocok-cocok banget. Interaksi antara Jon dan Daenerys selama ini adalah interaksi canggung antar dua pemimpin politik, yang masing-masing menjaga ego kekuasaannya.
Chemistry mereka tidak secocok kisah Jon dan Yggritte misalnya, yang mungkin bisa disejajarkan dengan iconic couple paling diingat di sejarah perfilman, seperti Sally dan Harry dalam “When Harry Met Sally” (1989), atau Mia dan Sebastian dalam “La La Land” (2016). Bahkan Daenerys tidak secanggung berinteraksi dengan Jon ketika memadu kasih dengan Khal Drogo atau Daario Naharis.
Apapun itu, nampaknya Tyrion menjadi salah satu orang dari kelompok kedua yang tidak terlalu suka dengan hubungan Jon-Daenerys. Tyrion tampak cemas, melihat Jon masuk ke kamar Daenerys lalu berhubungan intim. Apa maknanya?
Bisa bermacam-macam. Yang paling mungkin, ketika Daenerys memiliki hubungan emosi – percintaan – dengan seseorang, maka keputusan-keputusannya akan dipengaruhi oleh emosi tersebut. Daenerys tidak akan lagi jernih melihat suatu persoalan, yang bisa berpotensi membahayakan keselamatan Daenerys sendiri. Misalnya ketika, Daenerys tidak mendengarkan Tyrion dan memutuskan menolong “Suicide Squad”, keputusan ini mengakibatkan Viserion terbunuh.
Di akhir episode ini, Daenerys juga terlihat lebih mendengarkan Jon Snow dibandingkan orang-orang lain ketika memutuskan perjalanan laut ke Utara. Persoalan asmara dari pemimpin jelas akan mempengaruhi masa depan mereka, apalagi ketika sedang menghadapi perang besar. Kira-kira itu mengapa Tyrion khawatir.
Di season 8, kemungkinan besar Daenerys akan mengandung seorang anak. Yang mungkin kelak anak ini menjadi pewaris tahta di masa kedamaian kembali lagi, A Dream of Spring.
(Tulisan tentang review Season 7 secara lengkap akan hadir di tulisan selanjutnya, bersama prediksi Season 8).
Penutup
Walaupun penjelasan panjangnya akan hadir di tulisan selanjutnya, mengakhiri review episode 7 ini, saya ingin memberikan penilaian akhir tentang Season 7. Banyak fans yang kecewa dengan Season 7, karena plot yang terburu-buru, rangkaian cerita tidak jelas, ataupun perjalanan antar tempat yang tidak masuk akal.
Tapi saya beranggapan Season 7 tetap bagus, menarik untuk diikuti setiap Senin. Walaupun secara kualitas dan emosional-nya, Season ini masih jauh di bawah Season 6 sebagai Season terbaik.
Kekurangan di beberapa hal, tentu harus diakui. Mudah-mudahan kritikan fans (seperti kematian Littlefinger tadi) didengarkan David & Den sehingga penulisan script lebih bagus lagi. HBO juga mudah-mudahan bisa mendengarkan kritik fans tentang cerita yang buru-buru sehingga durasinya bisa ditambah (90 menit per episode, misalnya), walaupun Season 8 yang cuma 6 episode.
Setuju dengan review kami?
*NB: Pembahasan tentang Aegon Targaryen di-skip dulu sampai ada referensi lebih lanjut mengapa HBO menamai anak Rhaegar-Lyanna sama seperti anak laki-laki pertama Rhaegar. Sampai saat ini, masih sulit dijelaskan selain menebak-nebak.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.